I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rumah Sakit adalah suatu lembaga yang merupakan bagian dari sistem pelayanan kesehatan yang menjalankan rawat inap, rawat jalan dan rehabilitasi berikut segala penunjangnya.
Ketenagaan di bidang pelyanan kesehatan merupakan salah satu soko guru dalam menjalankan roda organisasi sebuah rumah sakit. Oleh karena itu, perilaku dokter, perawat dan karyawan di bidang penunjang kesehatan perlu tetap dijaga dan mempertahankan etika, baik etika kerumahsakitan pada umumnya maupun etika kedokteran serta perawatan pada khususnya.
B. Landasan Hukum
Pada jaman modern ini dapat dikatakan hampir taka ada bidang kehidupan masyarakat yang tidak tersentuh oleh hukum. Demikian juga halnya dengan rumah sakit. Hal ini diakibatkan oleh masyarakat yang sudah mulai mengetahui hak dan kewajibannya, pertambahan penduduk yang pesat, perkembangan IPTEK di bidang medis dan masuknya kebudayaan asing yang memberikan dampak terhadap norma serta pandangan hidup.
Atas pertimbangan itu, pengelolaan rumah sakit tidak lagi hanya didasarkan pad a norma- norma etis dan moral, tetapi juga harus berpedoman pada peraturan yang lebih pasti, yaitu Hukum Rumah Sakit ( Hospital Law ).
Masalah Etika dihadapi oleh semua pihak yang ada di rumah sakit. Tim Etika Rumah Sakit ( TERS ) berusaha menyelesaikan masalah etika yang terjadi di dalam rumah sakit.
Tim Etika Rumah Sakit ( TERS ) sendiri akan segera menyadari kenyataan bahwa masalah – masalah etika dalam tata kerja adalah masalah pertama yang harus diselesaikan.
Beberapa masalah segera tampak di atas permukaan adalah sebagai berikut :
1. Pada pasien dalam stadium terminal penyakit yang dideritanya, masalah etika tentang eutanasia segera timbul
2. Beban Etis yang ada pada pihak – pihak lain tidak seluruhnya dapat dialihkan kepada TERS. Persoalan yang akan timbul adalah beban etis yang mana yang harus diteruskan kepada TERS dan beban etis yang mana yang dapat diselesaikan secara individu, seperti ketika belum ada TERS.
3. Keputusan yang diambil terhadap masalah seorang pasien tertentu harus tetap dilakukan dengan menghargai prinsip konfidensialitas. Apakah prinsip tersebut tidak dilanggar bila TERS meminta data dari Rekam Medis Pasien.
Keengganan pasien dan keluarga dalam memberikan keterangan kepada TERS dapat timbul karena di dalam TERS terdapat anggota yang mewakili kaum awam.
TERS harus peka terhadap kenyataan bahwa usaha – usahanya dimaksudkan untuk meringankan beban (dan bukan menambah beban) pihak – pihak lain, yaitu pasien, dokter, perawat dan Pengelola RS, dalam menyelesaikan masalah – masalah Etika. TERS harus menyadari bahwa segala informasi yang didapat dari pasien dan tentang pasien ( dari rekam medis ) merupakan previleged information.
C. Fungsi
Fungsi Tim Etika Rumah Sakit ialah :
1. memberi nasihat atau konsultasi melalui diskusi dan berperan dalam menilai penyelesaian dan kebijaksanaan;
2. melaksanakan pendidikan pada lingkungan;
3. berhubungan secara khusus dan memberikan anjuran – anjuran pada pelayanan review kasus sulit.
D. Tugas
Tugas Tim Etika Rumah Sakit adalah :
Membantu para dokter, perawat dan anggota tim kesehatan di Rumah Sakit dalam menghadapi masalah – masalah etika.
E. Manfaat
Manfaat Tim Etika Rumah Sakit adalah sebagai berikut :
1. TERS merupakan sumber informasi yang relevan untuk penyelesaina maslah etika di rumah sakit.
2. Masalah – maslah etika dapat diidentifikasi sehingga TERS sekaligus pula dapat memberikan gambaran tentang penyelesaiannya.
3. TERS memberikan nasihat kepada Kepala RSK Sumberglagah untuk meneruskan atau tidak meneruskan penyelewengan masalah etika melalui pengadilan.
F. Pedoman Etis bagi Tim Etika Rumah Sakit Rumah Sakit
Meminta pihak – pihak lain untuk menuruti peraturan yang dibuat oleh TERS secara unilateral merupakan tindakan yang oleh para ahli filsafat dianggap tidak etis. Salah satu cara mengatasi masalah ini adalah dengan meilibatkan para anggota profesi ( perkumpulan – perkumpulan dokter spesialis dan para pakar dalam keahliannya masing – masing ) dan anggota masyarakat awam yang mewakili para pasien dalam usaha yang kompleks ini untuk menyusun kerangka kerja etis bagi TERS.
Dengan demikian, akan terjadi pengertian yang sama tentang standar moral yang mendasar yang berlaku dalam masyarakat yang dilayani oleh rumah sakit.
Ada tiga prinsip etis dalam cara kerja Tim Etik Medis, yakni :
1. adanya kerangka kerja etis yang telah disepakati
2. legitimasi keberadaan TERS di dalam lingkungan rumah sakit.
3. adanya jaminan tidak akan timbul konflik – konflik kepentingan para anggotanya yang dapat menghambat pengambilan keputusan.
Untuk melaksanakan tugasnya, Tim Etika Rumah Sakit rumah sakit perlu diatur secara organisatoris melalui suatu kepengurusan yang sekurang – kurangnya terdiri atas seorang ketua, seorang sekretaris dan beberapa anggota. Pengurus tersebut bertanggung jawab kepada Kepala UPT RSK Sumberglagah.
Keputusan TERS dianggap sah apabila keputusan tersebut disetujui sekurang – kurangnya oleh 2/3 anggota.
Hasil keputusan TERS diteruskan kepada Ka. RSK Sumberglagah untuk keperluan tindak lanjut yang akan diambil.
Anggaran belanja Tim Etik Medis dibebankan kepada APBD di Rumah Sakit.
II. Beberapa Masalah Etika dalam Pelayanan Kesehatan di
RSK Sumberglagah Kota Mojokerto
A. Pokok – pokok Etika yang Berhubungan dengan Data Pasien
Masalah – masalah Data Pasien / Rekam Medis di Rumah Sakit :
a. Kepemilikan Data Pasien / Rekam Medis di Suatu Rumah Sakit
Sesuai dengan Permenkes. RI. No. 749a / Menkes / Per / XII / 1989 tanggal 2 Desember 1989 tentang Rekam Medis / Medical Record, data pasien yang berbentuk rekam medis adlah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identias pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan rencana tindakan/terapai serta pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.
Fisik data pasien yang berbentuk rekam medis sebagaimana yang diuraikan diatas adlah milik sarana pelayanan kesehatan dalam hali ini rumah sakit, sedangkan isi dari data rekam medis adalah milik pasien.
b. Kebenaran Data
Data rekam medis merupakan alat informasi dan komunikasi serong pasien, baik terhadap dokter yang merawatnya, perawat yang membantu merawatnya, pegawai tata usaha rumah sakit, pihak kepolisian, pihak peradilan, maupun terhadap pihak keluarga pasien itu sendiri. Karena pemberi andil pembuatan rekam medis ini adalah seluruh petugas rumah sakit yang ada kaitannya dengan penyakit si pasien, maka kadang – kadang terjadi penyimpangan dalam hal – hal yang seharusnya tidak terjadi, misalnya dalam pencantuman biaya rawat inap ke spesialis tertentu, baik frekuensi konsultasi maupun besarnya tarif, yang kadang- kadang menyebabkan kerugian – kerugian, baik ditinjau dari pihak rumah sakit sebagai penyelenggara jasa pelayanan kesehatan, maupun dari pihak si pasien sebagai konsumen dari jasa rumah sakit.
c. Penyimpanan Data
Data pasien/rekam medis begitu pentingnya bagi pihak – piahk yang sedang memerlukannya sehingga data iut kadang- kadang diperbutkan, baik untuk keperluan rumah sakit, dokter yang merawatnya, penelitia, maupun untuk keperluan pasien itu sendiri, sehingga untuk hal itu perlu dicarikan jalan pemecahan yang sebaik – baiknya dan seadil – adilnya.
d. Etika dan Perilaku Petugas Rumah Sakit terhadap Data Pasien / Rekam Medis
i. Etika dan Perilaku Para Dokter terhadap Data Pasien/Rekam Medis.
Sesuai dengan keahliannya, dokter merupakan petugas rumah sakit yang mempunyai andil dalam mengisi data pasien/rekam medis, baik pasien yang sedang dirawat maupun pasien yang sedang dikonsultasikan kepadanya.
Dalam pengisian catatan pasien ini dokter harus benar – benar bekerja dengan berpegang teguh pad hal – hal yang diketahuinya, sesuai dengan ilmu pengetahuan yang didaptnya, disamping harus pula selalu berpegang teguh pada sumpah jabatan sebagai seorang dokter.
Karena para pelaku yang melaksanakan upaya pencarian penyebab penyakit ataupun upaya penyembuhan penyakit si pasien sebagian besar adalah dokter – dokter yang sedang mengikuti pendidikan sepsialis ( asisten ahli), maka untuk menciptakan suatu mekanisme administrasi mengenai data pasien/rekam medis, semua yang dicantumkan di dalam data pasien / rekam medis itu harus benar – benar di bawah konsulen spesialis dari cabang spesialisasi kedokteran yang bersangkutan.
ii. Etika dan Perilaku Paramedis dan Paramedis non perawatan terhadap Data Pasien / Rekam Medis.
Paramedis perawatan dan paramedis nonperawatan merupakan petugas rumah sakit yang ikut andil dalam pengisisn catatan data pasien / rekam medis selama pasien berada dalam pelayanan suatu rumah sakit. Oleh karena itu, sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepadanya, pengisian data psien / rekam medis oleh dedua jenis petugas ini harus benar – benar sesuai dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Apabila pelaku – pleaku itu adalah tenaga-tenaga yang masih dalam pendidikan, seluruh data yang mereka cantumkan dalam data pasien/rekam medis itu harus benar – benar di bawah pengawasan atasannya.
iii. Etika dan Perilaku Tenaga Tata Usaha, Tenaga Rekam Medis dan Tenaga Keuangan terhadap Data Pasien / Rekam Medis.
Tenaga Tata Usaha, Tenaga Rekam Medis dan Tenaga Keuangan adalah salah satu petugas rumah sakit yang ikut andil dalam pembuatan data catatan pasien dalam batas – batas data nonmedis, sejak pasien memasuki rumah sakit sampai saat pasien meninggalkan rumah sakit.
Data yang dibuat oleh petugas tata usaha rumah sakit erat kaitannya dengan data individual si pasien sehingga pengisian catatan –catatan, terutama dalam hal pencantuman biaya, akan sangat mempengaruhi keperluan pasien itu sendiri ataupun keperluan rumah sakit.
Oleh karena itu, selain diperlukan etika khusus mengenai hal itu, juga perlu diciptakan suatu mekanisme komunikasi tarif layan rumah sakit yang dikomunikasikan secara terbuka, baik kepada seluruh petugas rumah sakti maupun kepada masyarakat. Hal ini akan merupakan pengawasan yang efektif terhadap kebenaran data pasien/rekam medis, khususnya data non-medis pasien.
B. Pokok – pokok Etika Keperawatan di Rumah Sakit
1. Tanggung Jawab terhadap Individu, Keluarga dan Masyarakat
a. Perawat RSK Sumberglagah dalam melaksanakan pengabdiannya harus senantiasa berpedoman kepada tanggung jawab yang bersumber pada kebutuhan akan perawatan untuk individu, keluarga dan masyarakat.
b. Perawat RSK Sumberglagah dalam melaksanakan pengabdiannya di bidang perawatan harus senantiasa memelihara suasana lingkungan dengan menghormati nilai – nilai budaya, adat istiadat, dan kelangsungan hidup beragama dari individu, keluarga dan masyarakat.
c. Perawat RSK Sumberglagah dalam melaksanakan kewajibannya bagi individu dan masyarakat harus senantiasa dilandasi oleh perasaan tulus iklas, ramah tamah dan jujur sesuai dengan martabat dan tradisi luhur keperawatan.
d. Perawat RSK Sumberglagah harus senantiasa menjalin hubungan kerja sama yang baik dengan individu, keluarga dan masyarakat dalam mengambil prakarsa ataupun dalam melaksanakan usaha – usaha kesejahteraan umumnya, sebagai bagian dari tugas dan kewajibannya demi kepentingan masyarakat.
2. Tanggung Jawab terhadap Tugas
a. Perawat RSK Sumberglagah harus senantiasa meningkatkan dan memelihara mutu pelayanan perawatan di RSK Sumberglagah setinggi – tingginya, disertai kejujuran profesional dalam menerapkan pengetahuan serta ketrampilan perawatan sesuai dengan kebutuhan individu atau pasien/klien, keluarganya dan masyarakat.
b. Perawat RSK Sumberglagah wajib merahasiakan segala sesuatu yang diktetahuinya sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya olehRSK Sumberglagah.
c. Perawat RSK Sumberglagah tidak akan menggunakan pengetahuan dan ketrampilan perawatan untuk tujuan yang bertentangan dengan norma-norma kemanusiaan.
d. PerawatRSK Sumberglagah dalam menunaikan tugas kewajibannya diRSK Sumberglagah harus senantiasa berusaha dengan penuh kesadaran agar tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik, agama atau kepercayaan yang dianut, serta kedudukan sosial.
e. Perawat RSK Sumberglagah harus senantiasa mengutamakan perlindungan dan keselamtan pasien /klien dalam melaksanakan tugas perawatan, serta matang dalam mempertimbangkan kemampuan, baik dalam menerima, maupun dalam mengalihkan tanggung jawab yang ada hubungannya dengan perawatan.
3. Tanggung Jawab terhadap Sesama Perawat dan Tenaga Kesehatan Lainnya
a. Perawat RSK Sumberglagah harus senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama perawat dan dengan tenaga kesehatan lainnya, baik dalam memelihara keserasian suasana lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara keseluruhan.
b. Perawat RSK Sumberglagah harus senantiasa menyebarluaskan pengetahuan, ketrampilan, dan pengalamannya kepada sesama perawat serta menerima pengetahuan dan pengalaman profesional lain dalam rangka meningkatkan kemampuan dalam bidang perawatan.
4. Tanggung Jawab Perawat terhadap Profesi Perawat
a. Perawat RSK Sumberglagah harus selalu berusaha meningkatkan kemampuan profesional, baik secara perorangan maupun bersama – sama, dengan jalan menambah ilmu, ketrampilan dan pengalaman yang bermanfaat bagi perkembangan perawatan.
b. Perawat RSK Sumberglagah harus selalu menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan menunjukkan perilaku dan sifat – sifat pribadi yang luhur.
c. Perawat RSK Sumberglagah harus senantiasa berperan dalam menentukan pembakuan pendidikan dan pelayanan perawatan serta menerapakannya dlam kegiatan – kegiatan pelayanan dan pendidikan perawatan.
d. Perawat RSK Sumberglagah secara bersama – sama hendaknya membina dan memelihara mutu organisasi profesi perawat sebagai sarana pengabdiannya.
5. Tanggung Jawab Perawat terhadap Pemerintah, Bangsa dan Tanah Air serta Agama.
a. Perawat RSK Sumberglagah dalam melaksanakan tugasnya harus senantiasa taat dan taqwa kepada Allah S.W.T.
b. Perawat RSK Sumberglagah harus senantiasa melaksanakan kebijakan yang tleha digariskan oleh Pemerintah dalam bidang kesehatan dan perawatan.
c. Perawat RSK Sumberglagah harus senantiasa berperan aktif dengan menyumbangkan pikiran kepada Pemerintah dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan dan perawatan kepada masyarakat.
C. Pokok – pokok Etika Pelayanan Laboratorium Klinik
1. Pokok – pokok Etika Pelayanan Laboratorium Klinik
Pada hakikatnya pokok – pokok etika pelayanan laboratorium klinik tidak berbeda dari pokok–pokok etika kedokteran pada umumnya, yaitu:
a. memberikan pelayanan dengan penghargaan yang setinggi – tingginya terhadap martabat manusia;
b. Berusaha meningkatkan kemampuan, pengetahuan dan ketrampilan medis profesi sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi;
c. Melindungi masyarakat dan profesinya sendiri dari sikap moral yang kurang baik dan kemampuan profesional yang tidak adekuat;
d. Memberikan konsultasi sesuai dengan kemampuan profesionalnya kepada TERSan seprofesi ataupun kepada orang dari profesi lain dalam upaya memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada pasien;
e. Menjamin privacy pasien dengan memegang teguh rahasia mengenai data laboratorium dan identitas penderita, kecuali kalau diminta untuk keperluan sidang pengadilan atau kalau hal itu dianggap penting untuk melindungi keamanan pasien atau kesejahteraan masyarakat umumnya.
Walaupun demikian, ada beberapa hal yang membedakan etika pelayanan Lab. dari pelayanan dokter di klinik. Perbedaan tersebut disebabkan oleh faktor – faktor sebagai berikut :
(1) Pelayanan lab. bersifat menunjang dokter klinik dan dari data laboratorium dokter yang bersangkutan akan memperoleh informasi tentang keadaan pasien. Dalam hal ini , etika profesi harus ditunjang oleh jalur komunikasi yang efektif dan sistem konsultasi timbal balik yang sistematis.
(2) Dokter yang bekerja di laboratorium ( dokter spesialis patologi klinik) berperan dalam penatalaksanaan pasien melalui pengelolaan dan pemeriksaan spesimen yang berasal dari tubuh pasien. Tanggung jawabnya terhadap pasien dinyatakan dengan memeperlakukan dan menangani spesimen dengan cara sebaik-baiknya.
(3) Dokter yang bekerja di laboratorium membawahi sejumlah personil yang bertugas membantu dalam pelaksaan profesinya dan mengelola seperangkat sarana dan prasarana yang harus dijamin berfungsi dengan baik agar pelayanan yang bermutu tinggi tetap dapat diberikan. Dengan demikian, di samping seorang profesional, ia juga bertidak sebagai seorang manajer.
Sehubungan dengan hal – hal di atas, pokok - pokok etika pelayanan laboratorium klinik, selain menyangkut etika profesi patologi klinik, juga mencakup etika dalam teknologi dan manajerial serta etika petugas laboratorium, di samping terpenuhinya persyaratan klinik. Selain kemampuan profesional, teknik dan manajerial, seroang dokter spesialis patologi klinik juga dituntut menunjukkan perilaku yang terpuji, cepat tanggap terhadap kebutuhan masyarakat dan senantiasa mengembangkan dirinya sehingga pelayanan yang diberikannya selalu sesuai dengan perkembangan ilmu dan kebutuhan masyarakat.
2. Kemampuan yang Harus Dimilik oleh Dokter Spesialis Patologi Klinik
a. Kemampuan Profesional
Sebagai seorang profesional, dokter spesialis patologi klinik harus mampu :
(1) menganalisa dan menafsirkan dta laboratorium;
(2) membantu menegakkan diagnosis klinik melalui pemeriksaan laboratorium
(3) merumuskan dan memecahkan maslah pemeriksaan laboratorium yang berkaitan dengan penentuan diagnosis, evaluasi pengobatan, prognosis dan pencegahan penyakit;
(4) memberi penjelasan kepada sesama rekan dokter tentang keterbatasan ( limitations ) teknik pemeriksaan yang digunakan;
(5) meningkatkan mutu pemeriksaan laboratorium;
(6) memilih jenis tes yang tepat dalam kaitannya dengan butir 2 dan 3;
b. Kemampuan Teknis
Dalam bidang teknologi laboratorium, dokter spesialis patologi klinik harus mampu :
(1) melaksanakan pemeriksaan laboratorium, baik yang memerlukan keahliannya maupun yang dapat dilakukan oleh analis, termasuk pemeriksaan-pemeriksaan yang dijalankan dengan alat-alat automasi;
(2) mengidentifikasi dan memecahkan masalah atau kesulitan teknis mengenai metodologi, peralatan, regensia atau spesimen;
(3) mengambil tindakan perbaikan pada metode pemeriksaan secara bertanggung jawab;
(4) menatalaksanakan pemantapan kualitas laboratorium untuk evaluasi kualitas secara periodik dan membuktikan bahwa tes laboratorium yang dilakunkannya akurat dan teruji kebernarannya.
c. Kemampuan Pengelolaan
Sebagai seorang manajer laboratorium dokter spesialis patologi klinik harus mampu :
(1) menentukan jenis tes yang paling tepat dilakukan, ditinjau dari segi metodologi dan peralatan;
(2) menentukan jenis dan jumlah sarana, prasarana, dan pelaksana laboratorium yang dibutuhkan;
(3) mengatur dan mengawasi kelancaraan pelayanan laboratorium;
(4) menentukan fungsi dan tugas masing – masing tenaga laboratorium;
(5) mengusahakan langkah – langkah keselamatan kerja terhadap petugas laboratorium dan pasien serta mencegah pencemaran lingkungan;
(6) mengatur penggunaan dan pemeliharaan alat serta regensia;
(7) menganalisis data kegiatan laboratorium dan mengevaluasinya;
(8) menyesuaikan sarana dan prasarana serta pelayanan laboratorium dengan perkembangan dan kebutuhan, sesuai dengan tingkat kemampuan masyarakat.
3. P e r i l a k u
a. Tanggung Jawab
(1) Sebagai anggota tim klinik dalam penatalaksanaan pasien, seorang dokter spesialis patologi klinik memberikan proffesional expertise secara bertanggung jawab mengenai diagnostik dan penafsiran hasil laboratorium, serta saran untuk melakukan pemeriksaan lanjutan, baik untuk memastikan diagnosis, mengikuti perjalanan penyakit, maupun pencegahannya.
(2) Walaupun sebagian besar pemeriksaan laboratorium yang dilakukan secara rutin telah dapat dilakukan oleh analis, masih banyak pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan oleh seroang dokter spesialis patologi klinik, terutama dalam bidang hematologi dan imunologi. Baik dalam hal pertama maupun terakhir, tanggung jawab kebenaran hasil tes berada pada penanggung jawab laboratorium atau dokter spesialis patologi klinik yang mengawasi pemeriksaan itu. Adanya alat serba otomatis tidak mengurangi keabsahan pernyataan ini.
(3) Pengelolaan laboratorium klinik mencakupi perencanaan, koordinasi, supervisi dan pengendalian kegaitan laboratorium, evaluasi, serta penyesuaian dan perbaikan. Kelancaran pengelolaan ini merupakan tanggung jawab dokter spesialis patologi klinik.
b. Sikap dan Etika Profesi
(1) Antateman Sesama Dokter Spesialis Patologi Klinik
(a) Dalam upaya meningkatkan pelayanan laboratorium, persaingan yang tidak sehat antar laboratorium klinik harus dihindarkan.
(b) Dokter spesialis patologi klinik dapat memberikan konsultasi / informasi mengenai bidangnya kepada dokter spesialis patologi klinik yang lain bila diperlukan.
(c) Dokter spesialis patologi klinik dapat memberikan saran – saran dalam bidang profesional, teknik dan pengelolaan bila diperlukan.
(d) Bila perlu seorang dokter spesialis patologi klinik dapat mendelegasikan tugas profesionalnya kepada TERSan seprofesi tanpa turut memikul tanggung jawab atas malpraktik (malpractice) yang dilakukannya. Tetapi pendelegasian itu hanya boleh diberikan kepada mereka yang kompeten.
(2) Antarteman Sejawat Profesi Lain
(a) Dalam peran sebagai konsulen, dokter spesialis patologi klinik menetapkan diri pada satu kedudukan yang setaraf dengan keahlian lain.
(b) Dalam menganjurkan satu jenis pemeriksaan laboratorium, dokter spesialis patologi klinik wajib mempertimbangkan indikasi sebaik-baiknya dan memberikan pengalaman serta pengetahuannya secara maksimal kepada yang memerlukan.
(c) Dokter Spesialis Patologi klinik wajib memberikan konsultasi kepada profesi lain demi pemanfaatan laboratorium secara efektif untuk mencegah penggunaan pelayanan laboratorium secara berlebihan dan tidak tepat.
(3) Terhadap Pasien atau Spesimen yang Berasal dari Pasien
(a) Dalam memberikan pelayanan laboratorium, diutamakan kepentingan pasien dan senantiasa dipenuhi persyaratan pra–instrumentasi, instrumentasi, dan pasca-instrumentasi sampai diperoleh mutu pemeriksaan laboratorium yang baik atau mantap dan berkesinambungan. Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dari segi administratif diantaranya adalah mengatur sisTERS pencatatan identitas pasien secara tepat, penampungan, pengiriman dan penyimpanan spesimen secara adequat serta sisTERS pencatatan dan pengiriman data hasil laboratorium secara cermat.
(b) Sistem informasi tentang persiapan pasien, penampungan spesimen dan tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien sesuai dengan jenis pemeriksaan disusun secara jelas dengan bahasa yang udah dimengerti oleh masyarakat.
(c) Data laboratorium mengenai seorang pasien dianggap sebagai rahasia kedokteran. Karena itu, data laboratorium harus disampaikan kepada dokter yang merawat pasien dalam sampul tertutup. Sekalipun untuk keperluan pengembangan ilmu, data laboratorium dari pasien tidak boleh dipublikasikan dengan mencantumkan identitas pasien.
(d) Bila untuk pemeriksaan peradilan, dimintakan tes laboratorium oleh polisi, data laboratorium harus diberikan kepada pihak polisi yang memintanya, dengan disertai keterangan/pendapat sesuai dengan profesi dalam sampul yang tertutup.
(e) Hak pasien untuk mengirimkan spesimen kelaboratorium/rumah sakit lain untuk keperluan konsutasi harus dihormati.
4. Pengembangan Diri dan Profesi
Agar supaya pemberian pelayanan bermutu tinggi dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, seronag dokter spesialis patologi klinik wajib :
a. mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran pada umumnya dan patologi klinik pada khususnya dengan cara :
(1) mengikuti pendidikan kedokteran berkelanjutan (CME);
(2) mengikuti simposium, seminar dan pertmuan ilmiah lain yang berkaitan dengan profesinya;
(3) mempelajari artikel atau publikasi mengenai bidangnya.
b. turut serta dalam pengembangan ilmu patologi klinik melalui berbagai penelitian;
c. dalam memantau perkembangan ilmu dan teknologi, wajib menapis dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan profesi dan masyarakat;
d. menerapkan tambahan ilmu yang diperolehnya untuk meningkatkan pelayanan profesional kepada masyarakat.
5. Persyaratan untuk Melaksanakan Fungsi dengan Baik
a. Sarana dan prasarana ( gedung, peralatan dan penunjang lain) harus memadai dan sesuai dengan persyaratan perkembangan ilmu serta kebutuhan masyarakat luas.
b. Tersedia personil dalam jumlah yang memadai serta memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang cukup (qualified) untuk melaksanakan kegiatan laboratorium, baik teknis maupun administratif.
c. Sistem penyimpanan catatan medis atau arsip data laboratorium yang termasuk sediaan yang perlu disimpan harus baik.
d. Jalur komunikasi antara dokter di laboratorium dengan dokter di klinik dan pengelola rumah sakit harus efektif.
e. Peraturan – peraturan, baik peraturan pemerintah, rumah sakit, IDI, perhimpunan profesi, maupun peraturan lain yang berkaitan denga profesi harus menunjang pelaksanaan fungsi.
6. Etika Petugas Laboratorium
Etika petugas laboratorium, khususnya analis medis, pada hakikatnya tidak berbeda dari etika profesi paramedis. Seperti halnya dokter yang bekerja di laboratorium, analis medis juga tidak berhadapan langsung dengan pasien, kecuai pada saat mengambil spesimen, tetapi melakukan pemeriksaan terhadap spesimen tersebut dan tindakan – tindakan lain yang berkaitan. Walaupun demikian, hasil tindakannya mempunyai dampak terhadap pelayanan medis dan pelayanan kesehatan umumnya sehingga segala tindakannya harus dilakukan dengan tanggung jawab yang besar.
a. Tanggung Jawab terhadap Pasien
(1) dalam hubungannya dengan pasien, petugas laboratorium berkewajiban : selalu berusaha menciptakan kepercayaan dan memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya dalam menghadapi pasien yang akan diambil spesimennya;
(2) memberikan informasi yang jelas tentang tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien untuk memperoleh spesimen.
(3) menghormati pasien tanpa dipengaruhi oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, agama dan kedudukan sosial;
(4) merahasiakan data laboratorium dan identitas penderita kepada yang tidak berhak mengetahuinya.
b. Tanggung Jawab terhadap Tugas
Dalam melaksanakan tugas, petugas laboratorium harus senantiasa memperhatikan persyaratan dan peraturan yang berlaku.
(1) Dalam upaya menghindarkan keslahan pra-instrumentasi, petugas laboratorium menampung, mengirim dan menyimpan spesimen secara benar, sesuai dengan pemeriksaan yang akan dilaksanakan, melakukan pencatatan identitas pasien secara cermat dan lain-lain.
(2) Untuk mencegah kesalahan pada tahap instrumentasi, petugas laboratorium melakukan pemeriksaan atas spesimen secara “lege artis”, sesuai dengan pedoman yang serta petunjuk – petunjuk tentang pemantapan kualitas laboratorium.
(3) Petugas laboratorium mencegah kesalah pasca-instrumentasi dengan mencatat secara cermat dan melaporkan hasil pemeriksaan kepada atasan, kemudian melakukan penyimpanan arsip dan sediaan dengan cara yang sebaik-baiknya.
(4) Dalam melindungi diri sendiri, teman sejawat dan lingkungan dari laboratory hazzard, petugas laboratorium menaati sepenuhnya petunjuk keselamatan kerja dan pencegahan pencemaran lingkungan.
c. Tanggung Jawab terhadap sesama Analis dan Paramedis Lain
(1) Terhadap sesama analis dan paramedis lain petugas laboratorium harus : senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama analis maupun paramedis lain untuk memelihara lingkungan kerja yang menunjang pelayanan kesehatan yang sebaik-baiknya.
(2) Meneruskan pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya kepada teman sejawat yang memerlukannya.
d. Pengembangan Diri
Dalam rangka pengembangan diri, petugas laboratorium wajib :
(1) meningkatkan kemampuan dan ketrampilan dalam teknologi laboratorium dengan mengikuti penataran – peantaran, kursus-kursus yang diberikan oleh instansi pendidikan atau petunjuk – petunjuk yang diberikan oleh atasan;
(2) menerapkan tambahan pengetahuan dan ketrampilan yang diperolehnya untuk meningkatkan mutu pelayanan laboratorium.
D. Pokok – pokok Etika dalam Pelayanan Kesehatan Pasien Dewasa
1. Kewajiban Umum
a. Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah dokter;
b. Seorang dokter harus senantiasa melaksanakan tugas profesinya menurut ukuran yang tertinggi.
c. Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi.
d. Perbuatan berikut dipandang bertentangan degan etika :
(1) setiap perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri;
(2) secara sendiri atau bersma-sama menerapkan pengetahuan dan ketrampilan kedokteran dalam segala bentuk, tanpa kebebasan profesi;
(3) menerima imbalan lain di luar imbalan yang layak sesuai dengan jasanya, kecuali dengan keikhlasan, sepengetahuan dan/atau kehendak pasien;
e. Setiap perbuatan atau nasihat yang mungkin melemahkan daya tahan mahluk insani, baik jasmani maupun rohani, hanya diberikan untuk kepentingan pasien.
f. Setiap dokter harus senantiasa berhati – hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya.
g. Seorang dokter hanya memberi keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan kebenarannya.
h. Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus mengutamakan / mendahulukan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh ( promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif ), serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebernarnya.
i. Kerjasama antar dokter dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat harus dilandasi oleh kesalingmengertian yang sebaik-baiknya.
2. Kewajiban Dokter terhadap Pasien
a. Setiap dokter harus senantiasa ingat akan kewajibannya untuk melindungi hidup makhluk insani.
b. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, ia wajib merujuk pasien ke dokter lain yang memepunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
c. Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasihatnya dalam beribadat dan / atau dalam masalah lainnya.
d. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang serong pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
e. Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanuasiaan, kecuali bia ia yakin bahwa ada orang lain yang bersedia dan mampu memberikannya.
3. Kewajiban Dokter terhadap teman Sejawatnya
a. Setiap dokter hendaklah memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
b. Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawatnya tanpa persetujuannya.
4. Kewajiban Dokter terhadap Diri Sendiri
a. Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.
b. Setiap dokter hendaklah senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tetap setia kepada cita-citanya yang luhur.
Perkembangan dewasa ini, baik sehubungan dengan ilmu kedokteran dan teknologi medis yang makin pesat maupun dengan tuntutan masyarakat yang dirasakan berat, menyebabkan wawasan dan tanggung jawab makin meluas dan mendalam. Wawasan pelayanan kesehatan yang senantiasa meluas ini harus tetap bertitik tolak dari pandangan berikut :
(1) Pelayanan kesehatan kepada manusia harus tetap menjaga martabat manusia sesuai dengan fitrahnya.
(2) Harus diusahakan agar pelayan kesehatan tetap dapat diberikan dengan sebaik-baiknya, jujur serta mempertimbangkan hasrat dan kemampuan ekonomis si pasien. Sementara itu, dokter yang bersangkutan hendaklah senantiasa tetap berusaha meningkatkan kemampuan, pengetahuan dan ketrampilan profesi medisnya, sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
(3) Nilai profesi harus dijaga dan masyarakat harus dilindungi dari sikap moral yang kurang baik dengan kemampuan profesi medis yang memadai.
(4) Kerja sama yang serasi dengan sejawat lain dalam bidang kesehatan atau bidang lain yang ada kaitannya dengan bidang kesehatan harus dibina secara profesional dan kolegial untuk memberikan pelayanan kesehatan yang sebaik – baiknya kepada pasien.
Pelayanan dokter kepada orang dewasa di klinik yang langsung menangani pasien mengutamakan diagnosis dan terapi, disamping memperhatikan pula masalah penyuluhan dan rehabilitasi.
Hubungan antara dokter dan pasien harus selaras secara emfatis dan tidak menimbulkan masalah di luar bidang medis sebagai akibat dari hubungan dokter dan pasien yang tidak proporsional.
Sikap dan tindakan dokter harus diutamakan pemecahan masalah medis. Diagnosis harus berdasarkan pada darat data klinis yang objektif di bidang pengetahuan kedokteran. Terapi harus diarahkkan untuk mengatasi problema medis dalam mengatasi penderitaan pasien dan menghundarkan diri sejauh mungkin dari tindakan mal praktek.
Hal lain yang berkaitan dengan masalah medis dapat dibicarakan sebagai penunjang dalam penyelesaian masalah medis. Dokter yang bekerja di klinik seyogyanya senantiasa dilengkapi dengan pengetahuan dan kemampuan dasar klinis. Selain itu ia harus tetap memegang teguh standart moral untuk dapat memberikan pelayanan medis yang sebaik-baiknya dengan bertanggung jawab yang sesuai dengan fungsi dan kedudukannya.
Dalam lingkup RSK Sumberglagah setiap petugas dalam setiap strata fungsi pelayanan harus membina dan memanfaatkan kerjasama yang sebaik-baiknya agar tujuan pelayanan medis pada pasien secara individual dan pada masyarakat semuanya dapat tercapai.
E. Pokok – pokok Etika dalam Pelayanan Kesehatan Pasien Anak
Etika kedokteran yang khas untuk anak biasanya timbul pada masalah – masalah sebagai berikut :
1. Komunikasi
Yang perlu diketahui ialah:
a. kepada siapa informasi harus diberikan;
b. siapa yang harus mengambil keputusan, misalnya ayah, ibu, atau kakek.
2. Perawatan Pasien
Yang perlu diparhatikan sehubungan dengan perawatan pasien ialah:
a. apakah anak harus dipisah dari orang tuanya atau menjalani rawat tunggu;
b. perlakuan terhadap si anak karena sifatnya yang negativistis;
c. pendekatan terapi atau diagnostik terhadap si anak;
d. perawatan terhadap si anak etrutama mengenai kebersihan.
3. Lingkungan
a. Di rumah sakit pendidikan si anak terhenti
b. Anak terpisah dari orang tua dan keluarga; bayi yang menetek (sedang diberi air susu ibu) terpisah dari ibunya sehingga tidak mendapat air susu ibu
c. Anak terpisah dari kawan mainnya
d. Anak tidak dapat melakukan aktivitasnya sehari-hari.
e. Suasana rumah sakit yang tidak menunjang perkembangan kejiwaan anak.
f. Anak terpisah dari rangsangan-rangsangan tumbuh kembang sehari – hari.
Penyimpangan – penyimpangan daam masalah – masalah di atas tidak semuanya dapat disadari atau dilihat. Kepekaan terhadap pelanggaran etika sehubungan dengan maslah di atas sangat tergantung pada pengalaman, pengetahuan, norma-norma masyarakat, kebudayaan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat.
Beberapa penyimpangan oleh orang desa mungkin dianggap suatu hal yang wajar, tetapi buat orang kota hal itu mungkin bisa dianggap suatu pelanggaran terhadap hak asasi pasien
Etika pelayanan kesehatan anak pada hakikatnya sama dengan pelayanan kesehatan orang dewasa. Yang berbeda adalah soal pendekatannya. Kalau kita memeriksa anak, kadang-kadang anak itu perlu dipegang dengan kuat tanpa memandang seksnya agar pemeriksaan dapat dilakukan dalam keadaan anak itu tidak bergerak -gerak.
Untuk anak yang belum mengenal rasa malu, pemeriksaan anak tidak perlu dilakukan di TERSpat yang tertutup.
Pemeriksaan terhadap anak kadang-kadang perlu dilakukan dengan paksaan. Demikian pula halnya pada pengobatan.
4. Etika Pelayanan Kesehatan Anak
Walaupun pendekatnnya berbeda, pada hakikatnya pokok – pokok etika pelayanan kesehatan anak tidak berbeda dari etika kedokteran pada umumnya, yaitu :
a. memberikan pelayanan kesehatan manusiawi dengan penghargaan setinggi – tingginya pada martabat manusia sesuai dengan tahap pertumbuhannya;
b. meningkatkan derajat kesehatan anak dan melindungi anak dari penyakit yang lain serta memberi kesempatan tumbuh kembang yang optimal;
c. melindungi anak dari tindakan yang tidak sesuai dengan tahap pertumbuhannya;
d. melindungi anak dari tindakan amoral orang tua, tenaga medis dan paramedis;
e. berusaha meningkatkan kemampuan profesional dan pengetahuan, sesuai denganperkembangan ilmu dan pengetahuan yang cocok dengan ideologi dan kebudayaan kita;
f. memegang teguh rahasia jabatan;
g. memberikan informasi yang sejujur-jujurnya kepada orang tua atau walaupun walinya mengenai kesehatan anak mengenai kemungkinan perkembangan selanjutnya dan prognosisnya.
5. Kemampuan Dokter Spesialis Anak
Agar dokter spesialis anak tanggap terhadap masalah – masalah etika kesehatan anak, ia harus mampu :
a. mengenal anak sebagai individu yang sedang tumbuh dan berkembang;
b. menguasai kemampuan ilmiah dan kemampuan profesional yang telah digariskan sebagi kemampuan yang harus dimiliki dokter spesialis anak;
c. mengenal kebiasaan – kebiasaan, norma-norma serta kebudayaan masyarakat di daerah kerjanya, serta mengetahui dan mengahayati Kode Etik Kedokteran Indonesia serta peraturan-peraturan perundang-undangan mengenai kesehatan.
d. Memilih teknologi yang cocok untuk anak serta kemampuan ekonomi orang tuanya dalam diagnosis dan pengobatan;
e. Memberikan bimbingan dalam pelayanan kesehatan anak pada sejawat dokter umum, perawat, bidan dan tenaga para-medis;
f. Mengetahui kemampuan orang tua pasien dalam membiayai pengobatan anaknya.
F. Pokok – pokok Etika dalam Pelayanan Kesehatan Reproduksi Manusia
1. Masalah – masalah yang sering dihadapi :
a. Standar Pelayanan Secara Baku
Dahulu pada waktu pengertian tentang pelayanan reproduksi manusia masih terbatas pada masalah wanita hamil, bersalin dan masa nifas belum terlalu sulit untuk membuat suatu standar pelayan. Saat ini reproduksi manusia mempunyai ruang lingkup yang lebih luas, antara lain meliputi masalah perkawinan, seksualitas, fertilitas, kontrasepsi, kehamilan, perslainan, nifas, abortus, fertilisasi in vitro, instrumentasi dan penelitian. Akibatnya, penyusunan standar pelayanan menjadi lebih sukar.
Disiplin lain dalam bidang kedokteran atau diluar bidang kedokteran, seperti hukum dan psikologi, banyak terlibat dalam kegiatan pelaksanaannya.
b. Pelanggaran Etika
Sering terjadinya pelanggaran etika disebabkan oleh adanya kontroversi dalam bidang reproduksi manusia, di samping pelanggaran terhadap etika kedokteran secara umum. Latar belakang yang berbeda antar masyarakat, pasien dan tenaga dokter, yang pada umumnya menyangkut masalah motivasi sosial ekonomi, sering pula menjadi penyebab pelanggaran etika.
2. Etika dalam Pengobatan dan Perawatan bidang Reproduksi Manusia
a. Kewajiban terhadap Pasien
(1) Seorang dokter hendaknya denan segala upaya memberikan pelayanan yang optimal pada pasien
(2) Seorang dokter hendaknya menempatkan kepentingan pasien di atas kepentingan pribadinya.
(3) Segala bentuk pemeriksaan dilakukan dengan sopan santun dan “lege artis”.
(4) Dalam melakukan pelayanan kesehatan reporduksi manusi, seorang dokter harus didampingi sekurang – kurangnya oleh seorang perawat.
(5) Seorang dokter harus secara jelas menyampaikan informasi mengenai penyakit pasien berikut rencana tidnakan atau pengobatannya.
(6) Rencana tindakan pada seorang pasien haruslah tercantum dalam sebuah Informed Consent.
(7) Hal – hal lain hendaknya sesuai dengan kode etik kedokteran Indonesia.
b. Kewajiban terhadap Sesama Spesialis Dokter Obstetri- Ginekologi
(1) Perasaan kolegialitas harus terbina di antara sesama dokter spesialis obstetri-ginekologi.
(2) Rujukan di antara sesamanya harus disertai dengan keterangan yang jelas tentang pasien.
(3) Sesama dokter spesialis obstetri-ginekologi harus saling menasehati dan saling mengontrol agar yang bersangkutan tidak terjerumus ke dalam tindakan yang melanggar etika.
(4) Hal – hal lain yang harus pula sesuai dengan Kodeki.
c. Kewajiban terhadap Sejawat di Bidang lain
(1) Perasaan Kolegialitas harus mendasari hubungan antar sejawat.
(2) Rujukan harus diikuti dengan keterangan/maksud yang jelas.
(3) Hal – hal yang lain harus pula sesuai dengan Kodeki.
d. Kewajiban terhadap Paramedis Keperawatan
(1) Kerja sama dalam satu tim dengan para perawat dalam penanganan pasien hendaknya senantiasa dibina.
(2) Rasa tanggung jawab dalam diri perawat sehubungan dengan kerja sama tim tersebut hendaknya ditumhkan dan terus dipupuk.
(3) Penambahan ilmu yang ada hubungannya denganlingkup pekerjaan sehari-hari perlu diberikan secara berkala kepada para perawat.
(4) Setiap dokter spesialis obstetri-ginekologi hendaklah menjadi anutan dalam pelaksanaan pekerjaan sehari- hari.
e. Kewajiban terhadap Rumah Sakit
Dalam memenuhi kewajibannya terhadap rumah sakit, setiap dokter spesialis obstetri-ginekologi hendaklah :
(1) melakuakan pekerjaan dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan profesinya, baik dalam segi pendidikan, penelitian maupun pelayanan.
(2) Melaksanakan pekerjaan sehari –hari secara jujur dan bertanggung jawab.
(3) Mengupayakan kemajuan rumah sakit dengan segala gagasan, usulan ataupun penemuan baru bagi pelayanan terhadap pasien.
G. Pokok – pokok Etika dalam Pelayanan Anestesia, Perawatan Intensif dan Eutanasia
1. Penatalaksanaan dan Evaluasi Pra – Anestesia
Evaluasi dilakukan oleh Dokter Spesialis Anestesiologi (DSAn) yang bertugas atau dokter peserta program studi untuk menilai kondisi pasien sebelum anestesia untuk pembedahan atau tindakan lain. Tujuannya ialah untuk menjamin agar pasien berada dlam keadaan optimal untuk anestesia dan pembedahan.
a. Prinsip Umum
Evaluasi pra-anestesia hendaknya dilakukan oleh DSAn atau dokter peserta program sudi yang akan melaksanakan, setelah berkonsultasi dengan DSAn yang bertanggung jawab. Waktu yang tersedia untuk evaluasi hendaknya memadai agar terapi atau pemeriksaan yang diperlukan dapat dilaksanakan. Meskipun evaluasi dini tidak selalu dapat dilakukan (misalnya pembedahan darurat), penilaian tetap diperlukan sebelum anestesia dan pembedahan dimulai.
b. Evaluasi pra-anestesia hendaknya mencakupi
(1) identifikasi pasien;
(2) pemastian sifat prosedur yang akan dilaksanakan;
(3) riwayat medis dan pemeriksaan klinis pasien yang menyangkut pengobatan pada saat itu dan hasil pemeriksaan khusus;
(4) pengaturan terapi dan pemeriksaan lebih lanjut;
(5) konsultasi dengan dokter spesialis lain;
(6) informed consent dan memberi penjelasan tentang anestesia agar pasien merasa puas dan tenang;
(7) pemberian instruksi premedikasi bila dianggap perlu.
2. Penatalaksanaan Anestesia
- Prinsip Umum
(1) Setiap anestia yang dilaksanakan menjadi tanggung jawab DSAn. Pasien yang diberi anestesia bukan oleh DSAn (dokter peserta program studi anestesiologi) menjadi tanggung jawab DSAn yang bertugas.
(2) DSAn yang bertanggung jawab harus berada dalam satu atap di lingkungan rumah sakit dan dapat segera hadir setiap saat diTERSpat pelaksanaan anestesia.
(3) Pada saat yang bersamaan seorang DSAn hendaknya membatasi diri sehingga dia hanya bertanggung jawab atas sebanyak-banyaknya tiga anestesia.
(4) Semua pasien akan dipantau sesuai dengan standar pemantauan dasar intra-operatif ( akan dijelaskan pada bab lain).
- Keamanan Pasien selam Anestesia
Mesin anestesia harus diperiksa, diuji dan dipastikan berfungsi dengan baik. Bila dipergunakan elektrokauter, elektrokoagulator atau peralatan listrik lain yang menimbulkan bunga api selama prosedur tindakan, maka hanya zat yang tidak bisa terbakarlah yang boleh dipakai untuk anestesia. Bila digunakan zat yang mudah terbakar, harus diperhatikan hal-hal berikut.
(1) Lantai bersifat konduktif.
(2) Semua peralatan dan perabotan di kamar operasi hendaknya dikebumikan ( grounding ) dengan baik.
(3) Semua personalia yang masuk kamar operasi harus mengeanakan alas kaki konduktif.
(4) Pakaian luar tidak boleh terbuat dari sutera, wol, nilon atau bahan sistetis lain. Selimut wol tidak boleh berada di dalam kamar operasi.
Alat – alat yang berhubungan langsung dengan pasien seperti laringoskop dan pipa jalan napas, hendaknya dicuci dan disucihamakan sesudah setiap prosedur.
- Tenaga Bantuan dari Paramedis
Untuk pelaksanaan anestesia yang efisien dan aman, DSAn atau dokter peserta program sudi memerlukan bantuan tenaga paramedis. Tenaga bantuan tersebut harus cukup berkualifikasi. Kehadiran tenaga bantuan diperlukan selama persiapan, induksi, sampai pemberi anestesia menganggap tidak diperlukan lagi. Selama pemeliharaan anestesia, tenaga bantuan harus dapat datang dengan segera apabila serwaktu-waktu diperlukan. Pada pengakhiran anestesia, tenaga bantuan diperlukan juga.
3. Penatalaksanaan Pasien Pulih dari Anestesia
Setelah pengakhiran anestesia, pasien dievaluasi untuk penatalaksanaan pasca anestesia. Pasien dikirim ke kamar pulih untuk pemantauan parameter fisiologis yang diperlukan. Pemantauan dilakukan oleh perawat yang terlatih atau perawat yang berpengalaman. Keputusan mengeani penatalksanaan pasien dan evaluasi kondisinya untuk keluar dari kamar pulih dibuat oleh dokter yang bertugas atau dokter pelaksana anestesinya.
Sebelum dipindahkan ke tempat lain, pasien sebaiknya sudah berada dalam keadaan sadar dan stabil.
4. Standar Pemantauan Dasar Intra-Operatif (Selama Pembedahan)
Standar ini berlaku untuk setiap pemberian anestesia/anagesia yang dilakukan di dalam ruangan yang telah disediakan untuk itu, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas penatalaksanaan pasien. Meskipun demikian, standar ini tidak menjamin hasil akhir keadaan pasien. Dalam keadaan darurat, bantuan kehidupan ( life support) lebih diutamakan.
Dalam keadaan tertentu beberapa cara pemantauan dalam standar ini mungkin secara klinis tidak praktis dan mungkin juga gagal di dalam menemukan perubahan klinis yang tidak menguntungkan. Stadnar ini bisa dilampaui, bergantung pada pertimbangan dan tanggung jawaba DSAn.
Standar ini dapat diubah dari waktu ke waktu, sesuai dengan perkembangan teknologi dan ilmu.
a. Standar I
Tenaga anestesia yang berkualifikasi harus berada di dalam kamar bedah selama pemberian anestesia/analgesia.
Tujuan :
Karena keadaan pasien selama anestesia/analgesia dapat berubah dengan cepat, maka tenaga anestesia yang berkualifikasi harus ada untuk memantau pasien dan memberikan pelayanan anestesia/analgesia.
Dalam hal terdapat bahaya langsung terhadap tenaga anestesiologi (misalnya radiasi), pasien perlu diawasi dari jarak jauh. Beberapa cara pemantauan tertentu tetap harus dilakukan.
Pada keadaan darurat di tempat lain yang memerlukan kehadiran DSAn yang bertanggung jawab, maka keputusan untuk meninggalkan pasien didasarkan pada tingkat kedaruratan tersebut, keadaan pasien yang ditinggalkan dan kualifikasi tenaga anestesia yang tetap tinggal.
b. Standar I
Selama pemberian anestesia/analgesia, oksigenasi, ventilasi dan suhu tubuh pasien harus sering dievaluasi secara teratur.
5. Oksigenasi
Tujuan :
Oksigenasi bertujuan memastikan kadar zat asam di dalam gas inspirasi, di dalam darah pada setiap pemberian anestesi/analgesia.
Cara :
a. Gas Inspirasi
Selama pemberian anestesia dengan mesin anestesia, dianjurkan agar kadar zat asam dkukur dengan analiser zat asam yang mempunyai alarm batas rendah kadar zat asam.
b. Oksigenasi Darah
Selama pemberian anestesi/analgesia, diperlukan penerangan yang cukup dan pasien harus dapat dilihat dengan jelas agar dapat dilakukan penilaian terhadap warna. Disamping cara-cara kualitataif lainnya, dianjurkan juga cara kualitatif seperti oksimeter pulsa.
6. Ventilasi
Tujuan :
Ventilasi bertujuan memastikan ventilasi pasien yang cukup selama pemberian anestesia/analgesia.
Cara :
- Setiap pasien yang diberi anestesia, ventilasi harus sering dievaluasi secara teratur. Secara kualitatif, hal itu dapt dilakukan misalnya dengan mengawasi gerak naik-turun dada, gerak kembang-kempis kantong reservoar, atau auskultasi bunyi napas. Secara kuantitatif, hal itu dapat dianjurkan misalnya dengan mengukur kandungan CO2 dan/ atau volume gas ekspirasi.
- Jika dilakukan intubasi, posisi pipa trakea yang tepat di dalam trakea harus dipastikan. Penilaian secara klinis adalah esensial, sedangkan pemantauan kandungan CO2 tidak akhir end tidal CO2 atau kandungan CO2 pada akhir ekspirasi dianjurkan.
- Jika ventilasi diatur dengan ventilator mekanis, dianjurkan agar terdapat alat yang mampu untuk menunjukkan putus hubungan dari komponen-komponen sistem pernapasan pasien. Alat tersebut harus mampu mengeluarkan tanda yang dapat didengar jika ambang alarm terlewati.
- Selama analgesia regional dan pelayanan anestesiologi lainnya yang memerlukan pemantauan, ventilasi yang cukup harus dievaluasi, setidak-tidaknya dengan cara klinis kualitatif secara teratur dan sering.
7. Sirkulasi
Tujuan :
Sirkulasi bertujuan memastikan fungsi sirkulasi pasien yang cukup selama anestesia/analgesia.
Cara :
- Setiap pasien yang diberi anestesia/analgesia harus diukur tekanan darah dan laju jantungnya secara teratur dan sering.
- Setiap pasien yang dieri anestesia dan mempunyai resiko tinggi, harus dilakukan pemantauan EKG-nya secara teus-menerus dan dianjurkan agar hal itu disertai salah satu cara pemantauan berikut, yaitu tekanan invasif, oksimeter pulsa atau platismografi.
8. Perawatan/Terapi Intensif ( ICU )
Pelayanan yang diberikan di ICU mencakupi :
a. diagnosis dan penatalaksanaan spesifik penyakit-penyakit akut yang mengancam nyawa dan dapat menimbulkan kematian dalam beberapa menit sampai beberapa hari;
b. pemberian bantuan dan pengambilalihan fungsi vital tubuh sekaligus melakukan peantalaksanaan spesifik masalah dasar;
c. pemantauan fungsi vital tubuh terhadap komplikasi :
(1) penyakit
(2) penatalaksanaan spesifik
(3) sistem bantuan tubuh
(4) pemantauan itu sendiri.
d. penatalaksanaan untuk mencegah komplikasi akibat koma yang dalam, imobilitas berkepanjangan, stimulasi berlebihan dan kehilangan daya sensori;
e. pemberian bantuan emosial terhadap pasien yang nyawanya pada saat itu bergantung pada fungsi alat/mesin dan orang lain.
Ruang perawatan / terapi intensif berbeda dari ruang perawatan biasa karena harus mempunyai kemampuan pelayanan yang tertentu atau maksimal. Akan tetapi, ruang perawatan/terapi intensif itu harus melampaui kemampuan pelayanan minimal, yaitu :
a. resusitasi jantung paru;
b. penatalaksanaan jalan napas, termasuk intubasi endotrakea dan ventilasi;
c. terapi zat asam;
d. pemantauan EKG kontinyu;
e. pelayanan laboratorium menyeluruh yang cepat;
f. pelayanan bantuan nutrisi;
g. terapi tetrasi intervensi dengan pompa infus/pompa semprit;
h. alat-alat bantuan kehidupan portabel untuk transpor pasien;
Tindakan dan pengobatan di ICU, terutama resusitasi darurat dan penggunaan alat – alat canggih, mengakibatkan dapat tertolongnya pasien-pasien yang sebelumnya diperkirakan akan cepat meninggal. Akan tetapi, hal ini dapat mengakibatkan pasien berada pada keadaan antara hidup dan mati. Kadang-kadang kita mengahadapi proses perpanjangan kematian, bukan perpanjangan kehidupan. Masalah lain ialah mahalnya perawatan dan pengobatan di ICU dan terbatasnya tempat. Persoalannya ialah apakah secatra etika dan moral kita dapat menghentikan tindakan pengobatan (misalnya mematikan alat bantu napas), jika kondisi pasien tidak memperlihatkan adanya harapan untuk hidup. Untuk menangani masalah ini, dibutuhkan ketentuan tentang mati, eutanasia dan tindakan pengakhiran resusitasi.
Cara Kerja dan Hubungan DSAn dengan Dokter Spesialis dalam Merawat Pasien di ICU.
1. Dokter dari slah satu UPF dalam lingkungan RSK SUMBERGLAGAH mengajukan permintaan tertulis ke ICU dengan menyebutkan alasannya.
2. DSAn (konsulen ICU) atu wakil yang diutnjuk (minimal ia adalah Peserta Program Dokter Spesialis Anestesiologi Senior) datang memeriksa dan memberik persetujuan secara tertulis setelah mempertimbangkan keadaan pasien dan tempat di ICU.
3. Setelah disetujui, pasien disertahterimakan oleh dokter yang mengirim. Keterangan dan saran pengobatan yang diperlukan disertakan pada sertah terima itu.
4. Serah terima itu hendaknya bersifat konsultasi, aliha rawat, atau rawat bersama.
- alih rawat, di sini tanggung jawab sepenuhnya ada pada dokter ICU dalam hal terapi, konsultasi dengan dokter UPF lain dan indikasi ke luar dari ICU.
- Rawat bersama, dalam hal ini dokter yang mengirim tanpa diminta tetap melakukan evaluasi dan menganjurkan terapi.
Konsultasi dapat dilakukan dengan atau tanpa persetujuan dokter yang mengirim. Dengan demikian, penanggulangan pasien dilakukan dengan pendekatan bersama antara DSAn (dokter ICU), dokter pengirim, dokter konsultan lain dan Kepala ICU sebagai ketua tim.
5. Semua dokter spesialis atau konsulen lain yang terlibat, pada waktu melakukan kunjungan pasien harus selalu didampingi oleh dokter ICU. Saran yang diberikan harus tertulis dan dapat diteruskan kepada perawat oleh dokter ICU. Saran dapat diajukan secara lisan dulu, tetapi harus diikuti secara tertulis.
9. Eutanasia
Eutanasia berasal dari bahasa Yunani, yang berarti kematian yang membahagiakan. Tetapi istilah itu sering diartikan sebagai pengakhiran kehidupan karena kasihan; kadang-kadang diartikan sebagai membiarkan seseorang mati. Eutanasia muncul dengan berkembangnya pengetahuan masyarakat dan kesadaran mereka akan hak individu, ditambah lagi dengan kemajuan teknologi kedokteran yang memungkinkan dokter dapat mempertahankan hidup pasien meskipun hanya secara vegetatif.
Kita mengenal dua macam eutanasia, yaitu eutanasia aktif dan eutanasia pasif. Eutanasia aktif ialah upaya mempercepat keamtian melalui tindakan medis yang direncanakan. Eutanasia aktif ini merupakan tindakan yang dapat dihukum karena melanggar KUHP pasal 344, 345 dan 304. Eutanasia pasif ialah penghentian segala pengobatan dan upaya yang tidak berguna lagi pada penderita sakit berat untuk kepentingan pasien, baik atas permintaannya maupun tidak atas permintaanya. Eutanasia pasif dapat dikerjakan sesuai dengan Fatwa IDI dengan memakai Triase Gawat Darurat yang dikeluarkan oleh IDI.
10. Ketentuan Mati
Seseorang dinyatakan mati bilamana :
a. fungsi spontan pernapasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau irreversibel, atau
b. bila terbukti telah terjadi kematian batang otak.
Seseorang dinyatakan mati jika fungsi pernapasan dan jantung telah berhenti secara pasti, yaitu misalnya pada kematian normal yang biasa terjadi pada penyakit akut atau kronik berat.
Pada keadaan ini, denyut jantung dan nadi berhenti pada suatu saat ketika jantung ataupun organ lain secara keseluruhan begitu terpengaruh oleh penyakit tersebut, sehingga pasien yang bersangkutan tidak mungkin untuk tetap hidup leibh lama lagi. Upaya resusitasi pad keadaan ini tidak berarti lagi. Upaya resusitasi dilakukan pada keadaan ini tidak berarti lagi. Upaya resusitasi dilakukan pada keadaan mati klinis, yaitu bila denyut nadi besar dan napas berhenti dan diragukan apakah kedua fungsi spontan jantung dan pernapasan telah berhenti secara pasti.
Upaya resusitasi darurat dapat diakhiri bila :
a. diketahui kemudian bahwa sesudah dimulai resusitasi, pasien ternyata berada dalalm stadium suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan lagi, atau hampir dapat dipastikan bahwa pasien tidak akan memperoleh kembali fungsi serebralnya, yaitu sesudah selam ½ - 1 jam terbukti tidak ada nadi pad normotermia tanpa resusitasi jantung paru;
b. terdapat tanda – tanda klinis mati otak, yaitu sesudah resusitasi pasien tetap tidak sadar, tidak timbul napas spontan dan refleks gag, serta pupil tetap dilatasi selama paling sedikit 15 – 30 menit. Perkecualian untuk itu ialah hipotermia atau di bawah penaruh barbiturat atau anestesia;
c. terdapat tanda – tanda mati jantung, yaitu asistol listrik membandel ( garis datar pada EKG) selama paling sedikit 30 menit, meskipun telah dilakukan resusitasi dan pengobatan optimal;
d. penolong terlalu lelah sehingga tidak dapat melanjutkan upaya resusitasi.
11. Diagnosis Mati Batang Otak
Untuk menegakkan diagnosis mati batang otak, dibutuhkan tiga langkah, yaitu :
a. meyakini bahwa telah terdapat pra – kondisi tertentu;
b. menyingkirkan penyebab koma dengan henti napas yang ireversibel; dan
c. memastiakn arefleksi batang otak dan henti napas yang menetap.
Terdapat dua pra-kondisi yang dibutuhkan untuk mengeakkan diagnosis mati batang otak, yaitu :
a. pasien dalam keadaan koma dan henti napas, yaitu tidak responsif meskipun sudah dibantu ventilator;
b. penyebabnya adalah kerusakan otak struktural yang tidak dapat diperbaiki lagi karena adanya gangguan yang dapat menuju mati batang otak.
Untuk memantapakan pra-kondisi guna meampankan diagnosis kerusakan otak sruktural sampai diyakini kondisi yang bersangkutan tidak dapat diperbaiki, perlu ditunggu beberapa jam sampai beberapa hari, tergantung pada kasus masing-masing.
Tes – tes yang diperlukan untuk menunjukkan bahwa batang otak tidak berfungsi hanya memerlukan beberapa menti. Tes-tes ini membuktikan bahwa refleks batang otak telah hilang dan memastikan adanya henti napas yang menetap. Sebelum melakukan tes, hendaknya diperhatikan bahwa pada fungsi bantang otak yang menghilang terdapat tanda-tanda sebagai berikut :
a. koma;
b. tidak ada sikap abnormal ( dekortikasi, deserebrasi);
c. tidak ada sentakan epileptik;
d. tidak ada refleks batang otak; dan
e. tidak ada napas spontan.
Jika misalnya masih ada sikap abnormal seperti dekortikasi, hal itu berarti bahwa masih ada unsur neuron hidup pada batang otak. Karena itu, tes untuk mati batang otak tidak tepat untuk dilakukan karena hanya akan membuang waktu saja.
Bila memang tanda- tanda fungsi batang otak yang hilang diatas ada semua, maka hendaknya secara sisTERSatis diperiksa lima refleks batang otak, yaitu :
a. tidak ada respons terhadap cahaya;
b. tidak ada refleks kornea;
c. tidak ada refleks vestibulo-okular;
d. tidak ada respons motor dalam distribusi sarf kranial terhadap rangsang adekuat pada area somatik;
e. tidak ada refleks muntah ( refleks gag ) atau refleks batuk terhadap rangsang oleh kateter isap yang dimasukkan ke dalam trakea.
Tes terhadap refleks-refleks batng otak dapat menilai integritas fungsional batang otak dengan cara yang unik. Tak ada daerah lainnya yang dapat diperiksa sepenuhnya seperti ini. Hal ini menguntungkan karena konsep mati yang baru secara tidak langsung menyatakan bahwa semua yang berarti bagi kehidupan manusia bergantung pada integritas jaringan yang berukuran hanya beberapa cm ini. Tes ini ditujukan untuk mencari adanya respons, bukan gradasi fungsi. Ini mudah dilakukan dan dapat dimengerti oleh setiap dokter atau perawat yang terlatih. Tes yang paling pokok untuk fungsi batang otak adalah tes untuk henti napas, yaitu :
a. beri pre-oksigenai 100% selama 10 menit;
b. beri 5% CO2 selama 5 menit berikutnya untuk menjamin PaCO2 awal 53 kpa ( 40 torr );
c. melepaskan pasien dari ventilator. Insuflasikan trakea dengan O2 100% : 6 1/menit melalui kateter intra trakea lewat karina;
d. melepaskan pasien dari ventilator selama 10 menit. Jika mungkin periksa PaCO2 akhir.
Tes ulang perlu dilakukn untuk mencegah kesalahan pengamatan dan perubahan tanda-tanda. Interval waktu berlangsung selama satu jam dengan alasan berikut :
1. Makin panjang interval waktu, makin besar keberatan merawat pasien.
2. Makin pendek interval waktu, makin menunjang keberhasilan tranplanstasi organ. Karena makin lama interval waktu, makin besar kemungkinan terjadi asistol ventrikular sehingga sirkulasi darah berhenti dan ini akan mengurangi viabilitas jaringan.
3. Bila langkah-langkah menegakkan diagnosis mati batang otak dijalankan dengan baik, tidak akan ada perbedaan hasil (pemeriksaan pertama dan pemeriksaan ulang).
Hendaknya jangan dibuat diagnosis mati batang otak, jika dokter yang bertugas ragu-ragu mengenai :
- Diagnosis primer;
- Kausa disfungsi batang otak yang reversible (obat atau gangguan metabolik); dan
- Kelengkapan tes klinis.
12. Penghentian tindakan Terapeutik / Paliatif
Di ICU sering didapatkan pasien dengan otak yang tidak berfungsi sama sekali, tetapi jantungnya masih berdenyut otomatis, dan napasnya dapat dikendalikan dengan respirator. Hal ini merupakan hasil teknologi kedokteran maju yang menyedihkan yang telah mengubah pasien menjadi preparat biolobis (bentuk fisik) tanpa atribut sebagai manusian. Oleh karena itu, jika kita dapat membuktikan batang otak sudah mati, secara keseluruhan pasien tersebut sudah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Masih berdenyutnya jantung adalah karena fungsi instrinsik otonom dan hal itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa otak masih berfungsi.
Dalam hal pasien yang dalam keadaan gawat tidak dapat ditolong dengan cara pengobatan yang ada, sedangkan diagnosis mati batang otak belum ditegakkan, penghentian pengobatan sudah dapat dimulai. Sesuai dengan kondisi penyakit pasien, penghentian tindakan terapeutik/paliatif dilakukan secara bertahap, yaitu sebagai berikut.
a. Untuk pengakhiran resusitasi jangka panjang dipakai triase gawat darurat (critical care triage) sebagai berikut :
(1) Bantuan total untuk pasien sakit atau cedera kritis yang diharapkan tetap dapat hidup tanpa kegagalan otak berat yang menetap. Sistem organ vital, walaupun biasanya terpengaruh, tidak rusak irreversibel. Semua yang mungkin dilakukan untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas.
(2) Semua diusahakan kecuali resusitasi jantung paru untuk pasien dengan fungsi otak tetap ada, atau dengan harapan ada pemulihan otak pasien yang mengalami kegagalan jantung, paru atau oragan multiple yang lain atau dalam tindkat akhir penayakti yang tidak dapat disembuhkan, misalnya karsinoma lanjtu, Semua yang mungkin dilakukan untuk kenayamanan pasien.Perpanjangan hidup tidak dilakukan setelah henti jantung.
(3) Tidak dilakukan tindakan – tindakan luar biasa bagi pasien-pasien yang bila diberi beberapa bentuk terapi tampaknya hanya berarti memperpanjang proses kematian, bukannya kehidupan. Sebagai contoh ialah pasien dengan fungsi otak minimal tahap harapan sehingga tidak ada kemungkinan untuk mentasi manusia (human mentation) selanjutnyua. Penderita moribund sadar tanpa harapan, dibuat nyaman dan bebas nyeri.
(4) Pengakhiran semua bantuan hidup untuk pasien dengan penghentian fungsi batang otak yang irreversibel. Setelah kriteria mati abatang otak dipenuhi, pasien dinyatakan meninggal dan semua terapi dihentikan. Jika sedang dipertimbangkan donasi organ, bantuan jantung paru penderita diteruskan sampai organ yang diperlukan telah diambil. Paling sedikit dua orang dokter membaut klasifikasi dan secara berkala melakukan reklasifikasi setiap pasien ICU ke dalam 1 – 4 kategori tersebut diatas. Klasifikasi sebaiknya dikerjakan oleh kelompok dokter (lebih dari satu orang), kecuali di tempat terpencil / tersendiri.
b. Yang dapat digolongkan ke dalam tindakan luar biasa ialah :
(1) perawatan ICU,
(2) pengendalian disritmia,
(3) intubasi endotrakea,
(4) ventilasi mekanis,
(5) infus i.v. obat vasoaktif kuat, dan
(6) nutrisi parentral total.
Makanan diberikan lewat pipa lambung, sedangkan cairan i.v. antibiotika masih dapat diberikan pada keadaan tertentu.
c. Keputusan untuk menghentikan tindakan – tindakan luar biasa untuk bantuan hidup merupakan keputusan medis. Hal ini harus dibuat oleh dokter – dokter berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dapat dilakukan setelah diadakan konsultasi dnegan dokter spesialis berpengalaman (spesialis anestesiologi, spesialis neurologi).
Selain itu, hendaknya dipertimbangkan pula keinginan pasien yang dinyatakan sebelumnya, sikap kelurga dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan, tetapi pihak keluarga tidak diminta membuat keputusan untuk penderita mati.
d. Bila keputusan yang diambil ialah membiarkan pasien meninggal secara wajar dengan meamtikan mesin ventilator, maka setelah mesin dimatikan diupayakan untuk mengembalikan napas spontan. Bila upaya ini gagal, terapi ventilator tidak lagi diberikan dan pasien dibiarkan mati secara alamiah. Bila secara tidak terduga pasien bernapas spontan kembali, maka terapi ventilator dapat diteruskan.
III. ALUR PENYELESAIAN MASALAH ETIKA
Pengendalian keprofesian merupakan pengaturan ke dalam profesi sehingga hal itu merupakan tanggung jawab seluruh anggota profesi.
Kelompok profesi harus menetapkan, melaksanakan dan menilai mekanisme pengendalian etika secara menyeluruh.
Untuk keperluan itu, perlu dibentuk suatu wadah yang menangani masalah pelanggaran etika.
Pelanggaran Etika Profesi
Istilah melanggar etika profesi dipergunakan untuk kelakuan yang tidak sesuai dengan mutu profesional yang tinggi, kebiasaan, cara cara atau kebijaksanaan seperti yang lazim dipergunakan. Melanggar etika profesi termasuk melanggar prinsip – prinsip moral.
Alur penyelesaian pengaduan pelanggaran etika rumah sakit adalah sebagai berikut :
![](file:///C:/DOCUME%7E1/Owner/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.gif)
Gambar 1a
![](file:///C:/DOCUME%7E1/Owner/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image003.gif)
![](file:///C:/DOCUME%7E1/Owner/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image005.gif)
Keterangan :
![*](file:///C:/DOCUME%7E1/Owner/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/DOCUME%7E1/Owner/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/DOCUME%7E1/Owner/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/DOCUME%7E1/Owner/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/DOCUME%7E1/Owner/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/DOCUME%7E1/Owner/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/DOCUME%7E1/Owner/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/DOCUME%7E1/Owner/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
LAMPIRAN Ia
a. STANDAR PRAKTIK KEPERAWATAN DARI SEGI PROSES ASUHAN KEPERAWATAN
Uraian di bawah ini adalah mengenai standar proses pemberian asuhan keperawatan oleh perawat kesehatan yang diterapkan pada semua tempat pelayanan kesehatan, unit pelayanan keperawatan dan program pelayanan kesehatan ditempat kerjanya.
Standar proses ini menggambarkan bagaimana perawat kesehatan harus bekerja dalam proses pemberian asuhan keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat secara keseluruhan .
(2) Mengemban peran dan fungsinya dengan penuh tanggung jawab.
a. Datang dan pulang bekerja tepat pada waktunya.
b. Memanfaatkan jam kerjanya secara efektif dan efisien.
c. Bersedia melaksanakan tugasnya setiap saat, terutama dalam keadaan darurat.
(3) Memahami lingkup tanggung jawab kewenangan dan keterbatasan kemampuannya.
a. Melaksanakan asuhan keperawatan sesuai dengan tugas dan wewengan yang diberikan kepadanya di tempat kerjanya
b. Meminta bantuan kepada perawat yang lebih mampu atau tenaga kesehatan lainnya, atu institusi pelaynan kesehatanlain secara lintas program dan sektoral dalam memberikan asuhan keperawatan di luar kemampuannya.
c. Mengakui kesalahan dalam melaksanakan tugas kepada atasan langsung dan berusaha untuk memperbaikinya.
d. Tidak melaksanakan tugas di luar kewenangan yang diminta oleh pasien/klien dan atau teman kerjanya.
(4) Memperlakukan pasien/klien secara manusiawi sebagai individu yang unik dan mitra aktif dalam proses pemberian asuhan keperawatan dan pelayanan kesehatan.
LAMPIRAN Ib
a. Memperlakukan pasien /klien sebagai:
(1) individu unik yang memiliki kebutuhan bio-psikososial-spiritual
(2) mitra yang aktif dalam proses pemberian asuhan keperawatan dan pelayanan kesehatan
(3) anggota keluarga dan anggota masyarakat
(4) individu yang menghadapi masalah, bukan sebagai sumber masalah.
b. Berlaku sopan terhadap pasien/klien dalam proses pemberian suhan keperawatan
c. Tidak membedakan pasien/klien berdasarkan agama, suku/bangsa, jenis kelamin, status sosial ekonomi atau kedudukannya dalam proses pemberian asuhan keperawatan.
d. Melibatkan pasien/klien secara aktif dalam proses pemberian asuhan keperawatan.
e. Mengupayakan pemenuhan kebutuhan perawatan dasar pasien/klien yang meliputi kebutuhan bio-psiko-sosio-spiritual.
f. Memperhatikan faktor keluarga dan masyarakat, misalnya cirri keluarga, satus sosial ekonomi, kedudukan penderita dalam keluarga, gaya hidup, masyarakat pedesaan atau perkotaan dan sumber atu upaya pelayanan kesehatan yang terkait dengan proses pemberian asuhan keperawatan.
g. Memberikan pelayanan kesehatan/keperawatan secara efisien.
h. Tanggap dan cepat bertindak terhadap keluhan, permintaan bantuan dan hasil pengamatan mengenai keadaan pasien/klien.
i. Sabar dan menghindari sikap yang tidak terpuji terhadap pasien/klien.
(5) Melaksanakan komunikasi terapeutik dengan pasien/klien.
a. Memanggil pasien dengan benar sesuai dengan identitasnya (nama, umur dan status perkawinan), bukan dengan nomor kartu/nomor kamar atau kasus.
LAMPIRAN Ic
b. Menggunakan kata-kata, istilah dan bahasa yang mudah dimengerti oleh pasien/klien.
c. Berbicara dengan pasien / klien secara teapt dan benar (memperhatikan intonasi, keras lembutnya suara, ekspresi muka dan isyarat yang disertai gerakan anggota tubuh).
d. Mendengarkan, menampung dan menaggapai dengan seksama pertanyaan dan keluahan pasien/klien (sabar, penuh perhatian, menghargai pendapat, percaya, sikap dan nilai yang diyakini pasien/klien).
e. Mendorong pasien / klien untuk mengungkapkan perasaan dan pandangannya secara bebas.
f. Berkomunikasi dengan pasien/klien secara tepat, sesuai dengan waktu, situasi dan kondisinya.
g. Meluangkan waktu untuk berbicara dengan pasien/klien setiap ada kesempatan.
(6) Mengembangkan dan mempertahankan hubungan terapeutik dengan pasien/klien.
a. Menciptakan hubungan timbal balik yang harmonis di antara sesama pasien dan keluarganya di unit pelayanan keperawatan.
b. Menciptakan dan memelihara hubungan yang harmonis dengan pasien/klien.
c. Mencegah konflik dengan pasien / klien dan bila terjadi berusaha untuk segera menyelesaikannya.
d. Mencegah sikap pilih kasih atau perhatian yang berlebihan terhadap pasien/klien.
e. Menilai dampak dari tindakan dan perilakunya untuk mencegah tindakan yang tidak diinginkan oleh pasien atau keluarga.
f. Dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien/klien, harus berpenampilan tenang dan meyakinkan.
LAMPIRAN Id
g. Memperhatikan dan tanggap terhadap permintaan bantuan, keluhan dan kritik dari pasien/klien.
h. Mengupayakan untuk menepati janji dengan pasien/klien.
i. Harus jujur dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien/klien.
j. Menyediakan dan meluangkan waktu untuk berbicara dengan pasien/klien setiap ada kesempatan.
k. Tetap menjaga kesopanan dalam memberikan asuhan keperawtan kepada pasien/keluarga (memperhatikan privacy).
l. Memberikan kesempatan pada pasien untuk memelihara dan mempertahankan penampilan diri, misalnya bersolek.
m. Menghargai kebiasaan, kepercayaan dan nilai yang diyakini pasien/klien sepanjang pelaksanaannya tidak bertentangan dengan kesehatan.
n. Menjaga rahasia pasien/klien
o. Menjamin kepercayaan pasien/klien terhadap unit pelayanan kesehatan setempat beserta stafnya.
(7) Membina hubungan antarmanusia dan bekerja sama dengan sesama kawan dalam semangat kerja tim.
a. Menyadari dirinya sebagai anggota tim yang harus bekerja sama dan yang saling tergantung satu sama lain.
b. Saling menghargai sesama anggota.
c. Berperan serta dalam membina hubungan antar manusia dan suasana kerja yang harmonis dalam tim
d. Berperan serta dalam menciptakan kebersamaan dalam tim kerja melalui :
1. Komunikasi timbal balik;
2. Tukar menukar pendapat/informasi;
3. Mencegah persaingan yang tidak sehat;
LAMPIRAN Ie
4. Menghargai pendapat, sumbangan pikiran dan keikutsertaan setiap anggota tim dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan;
5. Mengkoordinasikan kegiatannya dengan kegiatan anggota tim lainnya dalam memberikan pelayanan kesehatan atau keperawatan yang berkesinambungan.
Lampiran IIa
HAK – HAK PASIEN
1. Pasien berhak menerima perawatan yang diberikan kepadanya dengan sopan dan penuh perhatian.
2. Pasien berhak menerima keterangan lengkap dan jelas dari dokternya mengenai diagnosis, perawatan dan prognosis oleh pasien. Bila kesehatan pasien tidak memungkinkan dia memperoleh keterangan itu secara lansung, keterangan itu harus disampaikan kepada orang yang dapat mewakili pasien. Pasien berhak mengetahui nama dokter yang memimpin perawatannya.
3. Pasien berhak mendapat keterangan yang jelas sebelum ia diminta menyetujui suatu prosedur atau perawatan lain. Kecuali dalam keadaan gawat, pasien harus menerima keterangan yang terinci mengenai resiko yang dihadapi dan berapa lama ia harus dirawat sebelum pulih kembali.
4. Pasien berhak menolak perawatan atau tindakan sesuai dengan hukum yang berlaku dan harus diberi tahu mengenai akibat medis dari penolakan ini.
5. Keterangan medis mengenai pasien bersifat sangat pribadi. Diskusi, konsultasi, pemeriksaan dan perawatan harus dilaksanakan dengan merahasiakan keterangan mengenai pasien ini sehingga orang lain yang tidak berkepentingan tidak akan mengetahuinya. Pasien harus memberi ijin sebelum orang yang tidak berhubungan langsung dengan perawatannya boleh memperoleh keterangan mengenai perawatan dan keadaan dirinya.
6. Pasien berhak menerima jaminan bahwa semua dokumen yang berhubungan dengan perawatannya akan dianggap sangat pribadi dan tidak dapat diberikan kepada orang yang tidak berkepentingan.
Lampiran IIb
7. Pasien berhak atas pelayanan yang sebaik – baiknya dan permintaannya yang dapat dipenuhi harus dipenuhi. Bila diperlukan, pasien dapat dipindahkan ke lembaga medis atau rumah sakit yang
lain, tetapi sebelum ini dilaksanakan pasien harus memahami alasan dan pertimbangan atas keputusan ini. Pasien juga harus diijinkan masuk rumah sakit atau lembaga medis lain.
8. Pasien berhak menerima keterangan mengenai hubungan rumah sakit tempat ia berada dengan lembaga medis lain yang terlibat dalam perawatannya. Pasien juga berhak mengetahui hubungan profesional di antara dokter dan orang lain yang memberikan perawatan.
9. Pasien berhak diberi tahu bila rumah sakit tempat ia berada mengadakan penelitian-penelitaian yang melibatkan pasien. Pasien berhak menolak ikut dalam program penelitian ini.
10. Pasien berhak memperoleh jaminan bahwa perawatan yang ia terima tak akan terputus, tetapi akan berlangsung dengan lancar. Pasien berhak mendapat keterangan mengenai jadwal dokter dan kapan dokter dapat ditemui. Pasien berhak mendapat keterangan mengenai tindak lanjut perawatan setelah dia pulang dari rumah sakit.
11. Pasien berhak melihat perincian biaya perawatan rumah sakit, meskipun bukan ia sendiri yang akan mengatur pembayarannya.
12. Pasien berhak mendapat keterangan mengenai segala peraturan rumah sakit yang berlaku dan berhubungan dengan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
a. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 585/MEN.KES/PER/IX/1989
b. Keputusan Kepala RSK Sumberglagah Kota Mojokerto, No.445/101/ 2011, tentang Tim Etik Medis RSK Sumberglagah Kota Mojokerto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar